Kategori: Artikel – Natal
Ingin berlangganan gratis “ Elia’s Stories” kirimkan email kosong ke elia-stories-subscribe@yahoogroups.com
Christianto Wibisono – suarapembaruan.com
NATAL 2005 di Amerika Serikat (AS) diwarnai perang dingin kelompok mainstream konservatif religius menangkis serangan kelompok ateis Tranzi, yang ngotot ingin menghapus ciri Yesus Kristus dan istilah Christmas dalam perayaan akhir tahun itu. John Gibson, pemandu Fox News, menulis buku War on Christmas yang laris dan didukung konsumen mengancam memboikot toko seperti Walmart, Target, dan Macy, yang menghapus istilah Christmas. Kubu konservatif masih bisa mempertahankan istilah Christmas tahun ini.
Kolumnis ateis Christopher Hitchens dengan sinis malah menyamakan Natal dengan kultus individu terhadap Kim Il -sung dan Kim Jong-il. Ini fakta pahit dekadensi moral kelompok Tranzi pascademokrasi liberal Barat.
Sebetulnya sejak 1994 Dr James Kennedy sudah menulis buku kontroversial berjudul What If Jesus Had Never Been Born? - Seandainya Jesus tidak pernah lahir? Buku itu merupakan kontra argumen terhadap arus besar ateisme dan sekularisme yang melanda Eropa Barat dan AS.
James menekankan kontribusi dan akar filosofi moral kemanusiaan. Mulai dari HAM, pendidikan umum dan kebebasan individu, demokrasi, semangat dan etos kerja, santunan kesehatan masyarakat, perkembangan musik dan kesenian, serta iptek yang progresif. James tidak lupa menyorot sejarah negatif seperti inkuisisi dan antisemitisme serta korupsi dan skandal yang menimpa Gereja Katolik maupun Protestan hingga kurun waktu abad ke-20.
Secara integral, kontribusi kekristenan tetap lebih besar daripada aspek negatif yang sempat mencemari kekristenan. James menyebut belasan pakar besar penemu iptek yang sangat religius dan jauh dari sekuler atau ateis. Antara lain, Newton , Maxwell, Faraday, Kelvin, Lister, Pasteur, Boyle, Mendel, Pascal, dan Kepler. Secara fair James juga mengakui kekeliruan gereja yang pernah menghukum Galileo Galilei dan bersikukuh pada dogma Alkitabiah yang keliru tentang matahari dan bumi.
Penyakit manusia sejak zaman purba ialah tidak pernah ingin mengakui kesalahan diri sendiri dan mawas diri. Melainkan asyik mencari kesalahan atau mengkambinghitamkan orang dan sebab lain, di luar dirinya sendiri. Kemudian, menular ke solidaritas suku, ras, etnis, agama, chauvinisme sempit, kelas menurut ajaran komunis. Lahirlah dogma right or wrong my country, my race, my ethnic group, my co-religionist, my working class or my poor class.
Prinsip moral yang hakiki yaitu Right is right and wrong is wrong diabaikan. Yang salah bisa dibenarkan, jika pelakunya sesama ras, etnis, agama, bangsa, kelas. Jadi kalau orang mis kin, kulit berwarna membunuh orang kaya dan kulit lain, ya dimaafkan dan tidak perlu dihukum berat.
Kalau koruptor tertangkap tetapi ada beking partai, klik dan elite, maka hanya dijatuhi hukuman ringan. Kalau pelanggar HAM diadili, hanya basa-basi karena toh akan dibebaskan. Padahal, setelah berkuasa para eks pejuang itu kemudian juga korupsi, serta malah melakukan tindakan penindasan dan penjarahan serta pembantaian sesama bangsa, yang malah lebih sadis ketimbang kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Tidak pernah orang berani membandingkan kejahatan oleh diktator lokal, domestik, nasional pribumi yang jauh lebih kejam dibanding penguasa kolonial. Seandainya penguasa kolonial Inggris, Prancis, Belanda, dan lain-lain tidak dibatasi oleh teologi dan iman Kristen tentang kemanusiaan dan HAM, barangkali pejuang seperti Nehru, Gandhi, Sukarno, dan lain-lain, akan sudah mengalami nasib seperti Munir atau Ali Bhutto.
Sekejam-kejamnya kolonialis Inggris, mereka ti dak membunuh Nehru atau Gandhi, yang malah akan tewas di tangan ekstremis Hindu. Sekejam-kejamnya Inggris, mereka tidak menggantung Ali Bhutto, yang malah dibunuh oleh mantan Panglima yang diangkatnya, Zia Ul Haq. Sekejam-kejamnya Belanda, tidak membiarkan Bung Karno tidak terawat tanpa obat yang mempercepat kematian proklamator di tangan bangsa sendiri.
Secara empiris, korban pembantaian oleh rezim diktator sesama bangsa, baik dalam perang saudara maupun pelanggaran HAM berat seperti di Jerman Nazi, Stalin, dan Mao Zedong, adalah jauh lebih besar daripada perang antara bangsa dan perang dunia. Fakta empiris itu secara khusus diteliti Prof RJ Rummel guru besar ilmu politik University of Hawaii , dalam dua buku Death by Government dan Power Kills.
Hari Minggu 18 Desember Evo Morales baru saja memenangkan pilpres Bolivia . Ia menjadi penduduk Indian pertama setelah 180 tahun sebagai Presiden Bolivia .
Nasib Amerika Latin adalah contoh kemunafikan elite. Simon Bolivar pertama kali mendirikan suatu republik, Kolombia, yang meliputi lima negara, Bolivia , Ekuador , Panama , Peru , dan Venezuela . Tetapi, federasi yang ingin meniru AS itu hanya berumur 11 tahun dan bubar 1930 ketika masing-masing negara ingin merdeka sendiri. Simon Bolivar (1783 - 1830) malah meninggal ketika akan mengasingkan diri ke Eropa karena frustrasi, padahal umurnya baru 47 tahun.
Riwayat Amerika Latin selama 200 tahun merdeka memang berbeda dari AS, karena penuh dengan kudeta, junta militer, rezim kiri populis model Stalin-Mao, yang juga gagal menyejahterakan rakyatnya. Sekarang orang hiruk-pikuk menyambut Morales sebagai calon trio anti-AS, Castro-Chavez-Morales.
Padahal, apa yang perlu dibanggakan dari Kuba? Anak perempuan Fidel Castro sendiri kabur mencari suaka karena tidak bahagia hidup di bawah rezim diktator sang ayah. Venezuela memang seolah sukses karena memiliki rezeki minyak seperti negara-negara Arab. Tetapi, apa kah HAM, demokrasi dan institusi yang menunjang kreativitas dan produktivitas jangka panjang punya prospek di situ?
Kebanyakan orang terlena romantisisme Che Guevarra, padahal ia pun kejam, tega terhadap kawan, sangat Machiavellis dan jika berkuasa pasti akan jadi seperti Pol Pot. Tetapi, apa boleh buat, orang Dunia Ketiga lebih tertarik pada romantisme model Che Guevara ketimbang teknokrat model Hernando de Soto, Guillermo Yeatts, atau AlvaroVargas Llosa.
Kegagalan Amerika Latin adalah karena tidak ada institusi yang menghormati HAM dan property rights dalam supremasi hukum yang impartial dan tidak terbajak oleh kelompok sektarian, primordial ("Washington Watch", 22 November, Red).
Kegagalan Amerika Latin yang notabene mayoritas Katolik juga perlu dicatat, bahwa kekristenan mempunyai dinamika yang memberi warna dan pengaruh yang berbeda.
Amerika Utara dalam semangat reformasi Protestan, memberi peluang pada pertumbuhan masyarakat kreatif, demokratis, progresif yang secara simultan mendongkrak tingkat kesejahteraan material spiritual rakyatnya.
Situasi dunia memang sedang krusial. Di Barat terjadi gelombang pasang antireligi, sedang di Timur gelombang pasang fanatisme jihad. Di Barat, sebagian elitenya bunuh diri secara filosofis dan ideologis dengan mengingkari akar sejarah dan jati diri kekristenan. Di Timur gelombang populisme membajak agama untuk meluncurkan perang jihad kepada manusia yang berbeda ciri primordialnya baik etnis, ras, maupun agama.
Dunia sedang menghadapi perang peradaban bukan hanya antara tiga rumpun agama keturunan Abraham, tetapi juga skizofrenia, retak jiwa dalam, pewaris demokrasi liberal Barat dan tradisi Judeo-Christianity Eropa yang mengingkari kebenaran dan tidak yakin terhadap sistem nilai hidup mereka sendiri.
Kaum ateis ingin mengubur warisan itu dan mengganti dengan ideologi Tranzi. Maka tidak perlu heran jika dalam satu abad, seluruh dunia bakal jadi Dunia Ketiga, tanpa kemanusiaan, dan tanpa moralitas.
Generasi Elton John mulai kawin resmi sejenis, karena itu dalam tempo satu generasi akan punah karena tidak akan ada Elton John Jr. Sistem nilai Dunia Ketiga dan ideologi Tranzi akan mendominasi dunia. Semua orang akan jadi Zia Ul Haq terhadap Ali Bhutto, dan sewaktu-waktu bisa di"munir"- kan tanpa proteksi hukum dan HAM. Semua orang terancam mirip perang Hutu melawan Tutsi di Rwanda.
Sebetulnya kondisi dan situasi Barat sekarang ini sudah bukan seandainya Yesus tidak pernah lahir, melainkan benar-benar sudah suatu perang terbuka untuk mengharamkan segala sesuatu berkonotasi Yesus Kristus, Kristen, dan Natal (Christmas).
Orang boleh ber-Hanukah (hari libur Yahudi), ber-Kwanza (hari Afrika Hitam) ber-Waisak, Imlek dan bahkan ber-Idul Fitri. Tapi ber-Natal, ber-Kristus, ber-Christmas justru dilecehkan bahkan digugat ke pengadilan oleh kelompok Tranzi ateis bule tulen.
Dari dimensi ini barangkali orang bisa menjawab pertanyaan dungu para ateis keblinger? Di mana Tuhan, Yesus Kristus, waktu WTC diserang pada 11 September? Tuhan tentu hanya tersenyum: "Lho, saya tidak ke mana-mana. Saya terus-menerus ada di mana mana di segala zaman. Cuma kalian saja yang mengusir saya dari imajinasi, inteligensi, dan hati nurani kalian, yang telah dirusak oleh kanker imoralitas, kedunguan primitif, dan naluri hukum rimba kebinatangan penebar kebencian antarmanusia."
Tuhan versi infinity tidak bisa dikungkung oleh abad ke-7 atau abad ke-21 sekalipun. Sebab manusia generasi Elton John akan segera punah setelah mereka tidak berketurunan. Sedang yang lain lenyap dimusnahkan oleh Weapon of Moral Destruction, imoralitas yang tidak bisa membedakan mana teroris dan mana korban.
Teroris boleh membunuh atas nama orang melarat. Korban tidak boleh menuntut keadilan bagi teroris karena dianggap pantas dibunuh. Itulah moral dunia pasca-9/11 dan pasca-Kristus. Lucu sekali setelah membunuh dan mengusir Tuhan, semua berlagak pilon menanyakan di mana Tuhan?
Labels: religion